Kassian belajar menjadi jurufoto di bawah petunjuk jurufoto pemerintah yang bekerja untuk Sultan Yogyakarta waktu itu, Simon Willem Camerik. Pejabat Letnan Dua militer sipil ini tiba di Yogyakarta pada tahun 1861 dan meninggalkan Yogyakarta tahun 1871. Selain Camerik, orang yang sangat penting di dalam karir Kassian yaitu Isaäc Groneman, dokter resmi Sultan Hamengkubowono VI. Mantri yang sebelumnya bekerja selama beberapa tahun di Bandung ini datang ke Yogyakarta pada 1869.
Pada akhir 1870-an dan 1880-an, Groneman mulai mempunyai minat kuat di bidang sejarah dan budaya Jawa. Pada 1885, dia adalah salah satu dari pendiri dan anggota Vereeniging voor Oudheid, Land, Taal en Volkenkunde te Jogjakarta, atau Perkumpulan Arkeologi, Geogradi, Bahasa, dan Etnogradi Yogyakarta. Kassian Cephas menjadi anggota perkumpulan ini dan menjadi jurufoto di dalam banyak penelitian, baik yang dilakukan oleh perkumpulan maupun Groneman pribadi.
Kassian banyak berkarya selama pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VII. Sultan Hamengkubuwana VII naik tahta pada 13 Agustus 1877, menggantikan ayahnya, Hamengkubuwana VI. Foto pertama yang dapat dibilang sebagai karya Kassian Cephas adalah tentang Barabudur dan berangka tahun 1872.
Ketika terbit koran pertama Yogyakarta, Mataram, Cephas memasang iklan di dalam edisi perdananya, 15 Januari 1877, mengumumkan bahwa studio buka 7.30–11.00 pagi. Pada Juni 1877, studio harus ditutup sementara, karena hujan deras yang membanjiri daerah Lodji Ketjil menyebabkan kerusakan yang cukup parah. Setelah itu, Cephas tidak lagi rutin mengiklankan usaha fotogradinya di koran.
Studio Cephas di Lodji Ketjil hampir pasti menjadi tempat pengambilan gambar banyak potret orang dan keluarga. Namun demikian, sulit ditentukan apakah banyak potret keluarga Keraton, termasuk Sultan, juga dibuat di sana. Di samping potret, Cephas juga membuat banyak foto bangunan, jalanan, dan monumen kuno, baik di dalam kota maupun jauh di luar kota.
Pada masa itu, Kassian Cephas bukanlah satu-satunya jurufoto di Yogyakarta. Dari waktu ke waktu, jurufoto pendatang dari tempat lain berkunjung ke Yogyakarta dan selama beberapa pekan, mengiklankan usaha mereka di koran lokal. Di antaranya, ada Barth dan Tagesell dari Semarang, Persijn yang sempat kongsi dagang dengan Kassian, O. Kurkdijan, dan Jos Sigrist. Di samping itu, ada pula Isidore van Kinsbergen, yang bekerja sementara waktu di Jawa Tengah selama 1863–1875 guna memfoto peninggalan Hindu-Jawa.
In den Kedaton dan De garebeg’s
Cephas pertama dicantumkan namanya sebagai jurufoto topogradi untuk khalayak nonlokal di dalam artikel Groneman yang ditulis untuk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Masyarakat Seni dan Ilmiah Batavia. Di dalam artikel ini, yang mengangkat topik istana air Tamansari, Januari 1884. Groneman menyatakan bahwa ‘sang jurufoto Jawa’ Cephas membuat beberapa ‘fotogram’ yang bagus dari reruntuhan Tamansari.
Pada 1885, Groneman mengirimkan rancangan In den Kedaton te Jogjåkartå dan sebuah publikasi lain, berjudul De garebeg’s te Ngajogyåkartå, kepada Royal Institute for Linguistics and Anthropology di Den Haag. Di dalam keduanya terdapat fotogram (sebetulnya ‘collotype’) oleh Cephas. Royal Institute tidak menerbitkan kedua artikel tersebut di dalam jurnalnya pada 1885. Pada 1888, In den Kedaton diterbitkan oleh Brill, sebuah penerbit niaga di Leiden.
Di dalam pengantar In den Kedaton te Jogjåkartå, Groneman menyebut bahwa seni tari Hindu-Jawa klasik masih terpelihara secara luar biasa di daerah Jawa Tengah, khususnya Yogyakarta. Dengan seizin Sultan Hamengkubuwana VII, Cephas menghasilkan lebih dari 16 gambar dari adegan tari. Karena biaya reproduksi yang tinggi, penerbit terpaksa membatasi publikasi 16 collotype saja.
Pada 1886, Cephas membeli kamera untuk ‘photographie instantanée’. Kamera jenis ini dapat mengambil gambar di dalam 1/400 detik, yang merupakan kemajuan besar. Sebelumnya, orang yang difoto harus diam tidak bergerak selama beberapa saat. Cephas membuat foto dari beberapa tempat di kota dengan kamera baru itu dan menjual cetakan foto ukuran besar, kepada masyarakat seharga f. 1. (Gulden) tiap fotonya. Foto-foto itu dijual sebagai kepada anggota elite Eropa lokal ketika mereka meninggalkan Yogyakarta.
Pada 1888, Cephas memulai prosedur guna diberi status hukum ‘gelijkgesteld met Europeanen’, atau ‘setara dengan orang Eropa’, Akhirnya, pada Oktober 1891, Kassian, dan anak-anaknya, Sem dan Fares diberi pengakuan status hukum sebagai orang Eropa oleh Gubernur Jenderal. Kassian dan anak-anaknya tetap pribumi, namun memperoleh hak untuk diperlakukan sesuai hukum dan aturan Eropa, dan tidak dengan aturan pribumi. Salah satu konsekuensinya, dia diharuskan menikahi istrinya, Dina, sekali lagi, kali ini menurut hukum Eropa. Upacara pernikahan berlangsung pada Desember 1893.
Pada 1890, Groneman menerbitkan tulisan mengenai tarian Hindu-Jawa. Tarian yang dimaksud adalah yang ditampilkan pada Agustus 1888, memperingati hari penobatan Patih, Kangjeng Raden Adipati Danureja V. Artikel itu dihiasi beberapa ilustrasi litograf berdasarkan foto karya Cephas.
Prambanan dan Barabudur
Pada 1889–1890, Archaeologische Vereeniging, atau Perkumpulan Arkeologi, di Yogyakarta sedang melaksanakan penelitian dan pelestarian monumen kuno peradaban Hindu-Jawa di Jawa Tengah. Kompleks candi Lara Jonggrang di Prambanan, di perbatasan Yogyakarta dan Surakarta, merupakan monumen dengan prioritas tinggi di dalam agenda Perkumpulan Arkeologi.
Kassian Cephas membuat foto projek kompleks candi Lara Jonggrang pada 1889 dan 1890, sementara Sem menggambar denah dan kenampakan bangunan. Pada 1890, pemerintah Hindia Belanda menyediakan f. 3.000 untuk menyelesaikan kerja penggalian dan pengambilan foto situs itu. Pada akhir 1891, Groneman mengirimkan foto-foto yang dibuat oleh Cephas bersama dengan diskripsi yang ditulisnya untuk publikasi ke Royal Institute di Den Haag. Tjandi Prambanan op MiddenJava na de ontgraving baru terbit pada 1893. Karya yang mengesankan ini terdiri dari 62 collotype karya Cephas.
Pesanggrahan Barabudur yang telah terkenal di dekat kota Magelang juga ada di peringkat atas agenda Perkumpulan Arkeologi. Pada 1885, lantai dasarnya yang tersembunyi ditemukan oleh pemimpin pertama Perkumpulan, sang teknisi kereta api J.W. IJzerman. Perkumpulan segera berencana untuk menggali dan memfotonya. Pemerintah menyediakan f. 9.000 untuk projek ini. Pada 1890–1891, lantai dasar tersebut digali, difoto oleh Cephas, kemudian ditutup lagi. Secara keseluruhan, ada 164 foto yang dibuat oleh Cephas di lantai tersembunyi itu, 160 foto relief dan empat lainnya memberikan gambaran umum keadaan situs tersebut.
Dibutuhkan setengah jam untuk mengambil setiap foto dan mengembangkan negatif kaca. Teknik yang dipakai untuk negatif ini adalah proses gelatin kering. Harga Cephas untuk produksi sebuah negatif adalah f. 10. Keseluruhan seri ini baru dipublikasikan 30 tahun kemudian di dalam collotype oleh N.J. Krom dan T. van Erp, Beschrijving van Barabudur, diterbitkan oleh Royal Institute.
Pada 1892, setelah penugasan Barabudur selesai, Cephas membuat 12 foto dari koleksi penemuan arkeologis yang dimiliki oleh J.A. Dieduksman, di Yogyakarta, yang dia persembahkan kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, atau Masyarakat Seni dan Ilmiah Batavia. Pada tahun yang sama, Kassian Cephas, ‘jurufoto dan pelaku arkeologi Hindia’ ditunjuk menjadi ‘anggota luar biasa’ Masyarakat Seni dan Ilmiah Batavia.
Kerjasama terakhir
Setelah Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (Royal Institute for Linguistics and Anthropology) di Den Haag menerbitkan karya Kassian Cephas mengenai Prambanan, tulisan Groneman De garebeg’s dikirimkan untuk kali kedua kepada Institute. Sekali lagi, Dewan menolaknya. Namun demikian, pada awal 1895, pada rapat umum tahunan Institute, beberapa anggota mengajukan permohonan untuk penerbitan karya tulis yang menarik tersebut. Dewan akhirnya setuju menerbitkannya sebagai publikasi khusus. De garebeg’s te Ngajogyåkartå dihiasi 25 ‘fotogram’ oleh Cephas. Kali ini, ‘fotogram’ yang dimaksud bukanlah collotype, melainkan cetakan blok proses.
Tahun berikutnya, untuk menghormati kegiatannya bagi Perkumpulan Arkeologi, Kassian Cephas dicalonkan menjadi anggota Royal Institute, yang dia terima dengan bangga di dalam sebuah surat bertanggal 15 Juni 1896.
Pada 1896, Raja Rama V alias Chulalongkorn dari Siam (Thailand) berkunjung ke Yogyakarta. Sang Raja diajak bertamasya ke semua situs penting di dalam dan sekitar kota. Kassian Cephas membuat sejumlah gambar di dalam kunjungan itu. Sebagai tanda terimakasih, Sang Raja memberi Cephas sebuah kotak berisi tiga kancing berhiaskan permata.
Pada 1901, Kassian Cephas menerima tanda terimakasih lain dari Kerajaan Belanda. Pada perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina, dia diberi penghargaan medali emas Orange-Nassau. Kassian Cephas barangkali diberi penghargaan tersebut karena upayanya memotret dan melestarikan peninggalan arkeologis dan budaya Jawa.
Pada Juni 1899, Groneman dan Kassian Cephas bekerjasama untuk kali terakhir. Mereka meliput pertunjukan wayang orang Pregiwa, sebuah drama tari klasik, yang berlangsung selama empat hari dan bertempat di Keraton. Acara ini diselenggarakan untuk mengenang penobatan Putra Mahkota Gusti Raden Mas Putro alias Hamengkunegara III, empat tahun sebelumnya.
Tema pertunjukan diambil dari karya sastra Jawa klasik, yang kemudian ditulis ulang untuk kebutuhan pentas oleh Gusti Pangeran Harya Surya Mataram, saudara laki?laki Sultan Hamengkubuwana VII. Lebih dari 150 orang terlibat di dalam pertunjukan luar biasa itu. Persiapan memakan waktu satu setengah tahun dan menghabiskan biaya sekitar f. 30.000. Pertunjukan dihadiri 23.000 hingga 36.000 pengunjung setiap hari.
Sebuah liputan lengkap pertunjukan tersebut, berjudul De wajang orang Pregiwå in den Kraton te Jogjåkartå in juni 1899, dengan sembilan cetakan blok proses foto-foto Cephas, diterbitkan pada tahun yang sama di Semarang. Pada 1901, buku tersebut, dengan sampul berlapis kain biru dan berhiaskan emas dan permata, dipersembahkan kepada Wisma Oranye (Istana Kerajaan) di Belanda pada perayaan pernikahan Ratu Wilhelmina dan Pangeran Hendrik dari Mecklenburg-Schwerin.
Pada 1902, Kassian Cephas membuat beberapa foto wayang beber dari desa Gelaran di Gunung Kidul. Bentuk seni rakyat ini segera punah dari seluruh Jawa. Saat itu, hanya ada beberapa set gambar tersisa, yang dilukis di gulungan kertas dari kulit kayu. Satu-satunya wayang beber yang tersisa di Yogyakarta adalah di Gelaran, milik seseorang bernama Gunakarya. Masyarakat Yogyakarta hanya melihatnya pada kesempatan yang jarang, misalnya pada perayaan sunat Putra Mahkota atau pada 1898 saat memperingati penobatan Ratu Wilhelmina di Belanda.
Pada September 1902, wayang beber Gelaran dipesan oleh Patih, Kangjeng Raden Adipati Danureja VI, untuk dibawa ke Yogyakarta guna dipelajari oleh G.A.J. Hazeu, seorang guru Bahasa Jawa yang terkenal dari Batavia. Pada saat inilah wayang beber difoto oleh Cephas. Sayangnya, artikel Hazeu terbit tanpa ilustrasi.
Tahun-tahun Terakhir
Awal 1900-an, ayah dan anak Cephas tidak lagi banyak membuat foto untuk tujuan arkeologi dan keperluan khalayak. Pada 1901, pemerintah kolonial di Batavia mendirikan Oudheidkundige Commissie, atau Komisi Arkeologi, yang kegiatannya mencakup seluruh kepulauan Nusantara. Pada 1913, Komisi digantikan oleh Oudheidkundige Dienst, atau Layanan Arkeologi. Organisasi ini melakukan pengambilan foto sendiri. Pembentukan badan pusat demikian merupakan pukulan kuat bagi perkumpulan arkeologi amatir lokal, seperti Perkumpulan Arkeologi di Yogyakarta, yang memiliki jurufoto sendiri.
Menjelang usia 60 tahun, Kassian Cephas pensiun dari urusan fotogradi, menyerahkannya sepenuhnya kepada anaknya, Sem. Selama beberapa waktu, Kassian menjadi ordonnans di Keraton, seorang petugas resmi yang mengantarkan surat dan bertindak sebagai perantara, di dalam upaya menjaga hubungan dengan Residen dan pejabat lain. Sultan memiliki sejumlah petugas seperti itu, semua di bawah pengawasan ketua masing?masing.
Pada 1905, Kassian ditunjuk menjadi ketua. Gelar barunya adalah hoofdordonnans atau wedanarodonas. Kassian dan istrinya, Dina, telah pindah dari Lodji Ketjil Wetan ke sebuah rumah di sisi timur laut Keraton, di Musikanan, tempat wedanarodonas biasa bertempat tinggal. Disebut Musikanan, karena di situ tinggal para pemusik kerajaan yang memainkan alat musik Eropa.
Pada 16 September 1911, istri Cephas meninggal dunia dan pada 16 November 1912, setelah menderita penyakit cukup lama, Kassian sendiri meninggal dunia, di dalam usia hampir 68 tahun.
Seperti istrinya dan menantunya, Kassian dimakamkan di pekuburan yang terletak di antara pasar Beringharjo dan daerah Lodji Ketjil. (Ditulis oleh Budi Dharmawan, sumber: Cephas, Yogyakarta: Photography in the service of the Sultan, oleh Gerrit Knaap, terbitan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) Press, Leiden, 1999)
Budi Dharmawan is Indonesian documentary photographer, interested in social, humanitarian, and cultural issues. He is an admin of Kelas Pagi Yogyakarta & Cephas Photo Forum Yogyakarta.
sumber : seribukata.com
Post a Comment